Prof. Dr. Sulianti Saroso adalah seorang ahli penyakit menular yang telah memberikan kontribusi besar bagi dunia kedokteran dan kesehatan di Indonesia.
Di Karangasem, Bali, Sulianti Saroso lahir pada tanggal 10 Mei 1917, Dia adalah anak kedua dari keluarga dokter M Sulaiman.
Sulianti secara konsisten memperoleh pendidikan terbaik. Ia bersekolah di Gymnasium Bandung yang elit, di mana mayoritas siswanya adalah orang kulit putih, untuk pendidikan dasarnya dalam bahasa Belanda.
Ia kemudian melanjutkan pendidikan tingginya di Geneeskundige Hoge School (GHS), nama baru untuk Sekolah Kedokteran STOVIA di Batavia. Beliau meraih gelar doktor pada tahun 1942.
Namanya dikaitkan dengan Rumah Sakit Pusat Infeksi (RSPI), yang didirikan dengan gaya megah di kawasan Sunter, Jakarta Utara. Tak terhitung berapa banyak orang yang memperhatikan, menulis, dan memperdebatkannya di berita dan media sosial dalam beberapa minggu terakhir.
Bagaimana jika kaitan tersebut adalah pandemi Covid-19 yang saat ini sedang menakutkan masyarakat dunia? Lantas, siapakah sebenarnya Sulianti Saroso?
Profesor Sulianti Saroso, MPH, PhD, adalah sosok yang cukup dikenal di dunia kebijakan kesehatan Indonesia, setidaknya karena dua hal: pencegahan dan pengendalian penyakit menular, serta Keluarga Berencana (KB).
Beliau adalah seorang peneliti dan perancang kebijakan kesehatan yang tidak memiliki keinginan untuk berpraktik sebagai dokter.
Pada tahun 1967, Dr. Sulianti Santoso ditunjuk sebagai Direktur Jenderal Pencegahan, Pemberantasan, dan Penanggulangan Penyakit Menular (P4M).
Selain itu, beliau juga pernah menjabat sebagai Direktur Lembaga Riset Kesehatan Nasional (LRKN).
Baca Juga :
Penasaran dengan Dokter Bercadar Yang Diundang Kick Andy? Inilah Biografinya
Mengenal Dr. Marzoeki Mahdi, Dokter Pejuang Ahli Penyakit Jiwa
Profesor Sulianti bertanggung jawab atas Klinik Karantina di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Klinik ini dibangun untuk berfungsi sebagai rumah sakit penyakit menular serta fasilitas penelitian untuk penyakit menular.
Dokter Sulianti mendirikan pos-pos kesehatan di berbagai daerah selain rumah sakit karantina di Tanjung Priok.
Rekomendasi pun lahir dari temuan-temuan di lapangan. Di antaranya adalah vaksinasi massal, imunisasi rutin (untuk anak usia dini), pelayanan kesehatan untuk ibu dan anak, produksi cairan “Oralit” untuk pasien diare, serta perencanaan dan pengendalian kehamilan.
Profesor Sulianti bekerja sebagai konsultan untuk organisasi internasional WHO dan Unicef hingga pensiun pada pertengahan tahun 1970-an.
Pekerjaannya mengharuskannya untuk pergi ke luar negeri secara teratur. Beliau diundang untuk terus menjadi penasihat Menteri Kesehatan saat pensiun.
Dalam kapasitasnya sebagai penasihat, beliau terus memberikan pandangannya tentang tata kelola kesehatan masyarakat, keluarga berencana, dan manajemen penyakit menular.
Salah satu inisiatif yang terus ia kelola adalah transformasi Rumah Sakit Karantina Tanjung Priok menjadi Rumah Sakit Pusat Infeksi yang dilengkapi dengan teknologi mutakhir, peralatan canggih, dan sumber daya manusia yang kompeten.
Tujuan rumah sakit ini adalah menjadi rumah sakit rujukan serta fasilitas pendidikan dan pelatihan.
Dokter Sulianti meninggal dunia pada tahun 1991, sebelum RSPI didirikan. Maka tidak mengherankan jika nama Profesor Sulianti Saroso dipilih sebagai nama resmi rumah sakit ini ketika dibuka pada tahun 1995.
Dita Saroso, seorang mantan profesional di bidang keuangan yang saat ini menikmati masa pensiunnya di Bali, mengenang ibunya sebagai panutan dalam hidupnya.
“Ibu hampir tidak pernah menyuntik orang atau menulis resep.” Kata Dita.
Sulianti bekerja sebagai dokter di Rumah Sakit Umum Pusat Jakarta, yang sekarang dikenal sebagai Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, pada masa pendudukan Jepang.
Ia tinggal di rumah sakit besar tersebut pada awal kemerdekaan. Ketika ibukota dipindahkan ke Yogyakarta, Sulianti menjadi dokter republik dan bekerja di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta.
Dia memilih sesuai dengan keyakinan politik keluarganya. Ayahnya, dokter Muhammad Sulaiman, adalah seorang organisator dan pendiri Boedi Oetomo, yang memiliki keyakinan politik pro-Indonesia Merdeka.
Ia berasal dari keluarga priyayi terkemuka di Bagelen-Banyumas dan memiliki hubungan dengan keluarga Soemitro Djojohadikusumo.
Dokter Sulianti masih mengadvokasi program keluarga berencana. Hanya saja melalui jalur swasta.
Ia mendirikan Yayasan Kesejahteraan Keluarga (YKK) bersama sekelompok aktivis perempuan untuk membangun klinik-klinik swasta untuk keluarga berencana di beberapa kota.
Para pejabat kementerian hanya diam saja. Ia juga membangun sebuah pos pelayanan di Lemah Abang, Bekasi, untuk membantu membangun sebuah model sistem pelayanan ibu dan anak.
Tujuannya bukan untuk memberikan layanan medis kepada ibu dan anak. Tujuannya adalah agar ibu dan anak dapat hidup sehat dan bahagia.
Meskipun memiliki perasaan yang kuat tentang keluarga berencana, Dita Saroso mengaku bahwa ibunya tidak terlibat dalam pelaksanaannya.
”Seingat saya, Ibu tidak pernah masuk BKKBN,” Ucap Dita Saroso.
Dita Saroso mengenang ibunya sebagai dokter dengan kepedulian tinggi kepada masyarakat.
“Ibu lebih merupakan seorang dokter komunitas, sikapnya sebagai seorang dokter adalah untuk membantu masyarakat, terutama mereka yang berada di kelas menengah ke bawah untuk hidup sehat, sukses, dan bahagia,” Ujar Dita Saroso.
Selain kontribusinya dalam dunia kedokteran, Prof. Sulianti Saroso juga terkenal sebagai sosok yang ramah dan baik hati.Banyak orang yang mengenalnya menggambarkan dirinya sebagai seorang yang rendah hati dan selalu siap membantu.***